Saat acara realitas diyakini sebagai kebenaran, sejauh mana penonton mengonsumsinya?

Saat acara realitas diyakini sebagai kebenaran, sejauh mana penonton mengonsumsinya?
Menonton televisi di panti rehabilitasi narkoba di Purbalingga, Indonesia Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Komisi Penyiaran Indonesia mengatakan bahwa perlu ada kesadaran dari penonton acara realitas dalam mengonsumsi acara-acara seperti itu.

Perdebatan dan kekhawatiran akan isi acara televisi realitas (reality show) yang banyak diputar di televisi Indonesia mencuat di kalangan warganet.

Ada yang berpendapat bahwa otoritas penyiaran seharusnya bisa turun tangan dalam membatasinya, namun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa perlu ada kesadaran dari penontonnya juga dalam mengonsumsi acara-acara seperti itu.

Salah satu acara yang memicu komentar warganet muncul dari sebuah episode acara televisi Rumah Uya Kuya yang mengklaim soal datangnya "penjelajah waktu dari masa depan".

Cuitan itu sudah disebar lebih dari 1.600 kali dan disukai lebih dari 500 kali.

Cuitan tersebut pun mengundang komentar dari warganet lain yang merasakan pengalaman serupa.

Beberapa orang lain yang ikut berkomentar mengkhawatirkan bahwa isi acara tersebut dipercaya sebagai bagian dari kenyataan, sesuai namanya sebagai acara realitas.

Menurut Komisioner KPI Pusat bidang penyiaran, Hardly Stefano, 'perdebatan' soal apakah acara realitas benar-benar berdasar pada kenyataan atau merupakan bagian dari drama sudah dibahas 'panjang dan berlangsung sejak lama'.

Hardly mengatakan bahwa KPI sebelumnya sudah pernah memanggil semua acara reality show.

"Kalau misalnya ini by script (berdasar pada naskah) kan seharusnya disampaikan. Kemudian mereka selalu sampaikan bahwa ini adalah kisah nyata, tetapi sudah melalui proses dramatisasi sehingga ada hal-hal yang ada dramatisasinya," kata Hardly.

KPI, menurutnya, tak bisa masuk terlalu jauh dalam konten acara karena ini "terkait proses kreatif teman-teman industri".

Namun, jika kemudian ada keluhan masyarakat terhadap konten acara tersebut, menurut Hardly, "tentu KPI akan menjadikannya sebagai bahan untuk mengkaji lagi bagaimana KPI bisa bertindak terhadap acara-acara seperti ini".

Hardly mengakui bahwa klaim 'reality show' digunakan untuk membuat acara seolah menjadi lebih menarik.

"Kalau misalnya ini dilihat sebagai drama jadi tidak menarik, karena fiktif kan? Kalau ini (reality show) kan jadi menarik karena seakan-akan benar terjadi," kata Hardly.

Dalam berhubungan dengan stasiun televisi yang menayangkan acara-acara tersebut, Hardly mengatakan bahwa mereka sempat menanyakan kemungkinan untuk memasang semacam 'disclaimer' atau penjelasan bahwa acara tersebut tak sepenuhnya soal realitas.

"Mereka saat itu memang menolak memberikan 'disclaimer'. Mereka tetap berpegang bahwa memang sejak awal lahirnya konsep acara ini memang menggabungkan dua hal, ada reality-nya dan ada show-nya. Dan di unsur show-nya inilah ada gimmick, ada dramatisasinya, tapi ini berangkat dari sebuah realitas, itu menurut mereka," kata Hardly.

Tetapi, jika ada laporan-laporan baru dari masyarakat akan kekhawatiran mereka, menurut Hardly, KPI bisa "membuka lagi persoalan ini dan mengundang para pihak terkait untuk mendudukkan lagi masalahnya seperti apa".

Sensor atlet renang di televisi: berlebihan atau perbedaan interpretasi? Perceraian Ahok: persoalan privat yang masuk ke ranah publik

Namun, Hardly juga berharap bahwa, "tanpa harus selalu diberi disclaimer, masyarakat punya kesadaran untuk melihat bahwa itu pasti bukan realitas 100%".

"Persentasenya berapa (realitasnya) kita nggak tahu. Masyarakat harus cerdaslah. Kalau ingin mencari sebuah realitas, informasi yang faktual dan benar-benar terjadi, dalam penyiaran kita itu hanya ada di klasifikasi program jurnalistik," ujar Hardly.

Meski begitu, direktur lembaga kajian media dan televisi Remotivi, Muhammad Heychael, mengatakan bahwa memang seharusnya ada pernyataan 'disclaimer' dalam acara-acara tersebut.

"Dan memang bahkan menurut saya nggak boleh ditulis reality show," kata Heychael.

Menurutnya, ada cara lain bagi pihak pengawas untuk 'masuk' dan mengatur konten.

"Bukan masuk langsung dalam sensor dan intervensi ya, tapi bagaimana mendefinisikan program, kalau program semacam ini dinamai apa dan sebagainya. Itu juga bagian dari edukasi pelaku industri dan masyarakatnya," kata Heychael.

"KPI misalnya punya aturan 'nggak boleh mewawancarai orang lagi pingsan', nah ini kan bisa ditambah dengan 'kalau misalnya bukan reality show ya jangan ngomong reality show. Reality show adalah...' misalnya begitu, karena itu sebenarnya manipulasi, di publik juga ada yang sebagian percaya," ujar Heychael.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.