Antara pasal penghinaan presiden dan 'pasal penghinaan rakyat'

Antara pasal penghinaan presiden dan 'pasal penghinaan rakyat'
Presiden Joko Widodo meresmikan geudng Istora Senayan, 28 Januari 2018. Hak atas foto Robertus Pudyanto/Getty Images Image caption Baik pemerintah dan DPR menyatakan bahwa mereka sepakat pasal penghinaan presiden tetap ada di RKUHP.

Rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden, yang sudah masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), memicu banyak perdebatan di media sosial.

Yang menarik, warganet menyebutkan bahwa, alih-alih pasal penghinaan presiden, yang justru dibutuhkan adalah "pasal penghinaan pada rakyat".

Di Spredfast, penggunaan istilah 'penghinaan presiden' meningkat 10.000% sejak Jumat (02/02) lalu namun baru drastis peningkatannya pada Selasa (06/02) pagi. Sampai Kamis (08/02), 'penghinaan presiden' muncul dalam lebih dari 24.000 cuitan.

Baik pemerintah dan DPR menyatakan bahwa mereka tetap sepakat pasal itu ada dalam RKUHP. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan bahwa nantinya akan ada pembedaan definisi antara kritik dan penghinaan.

Aksi kartu kuning untuk Presiden Jokowi: tidak sopan, wajar, atau malah kreatif? Dugaan pencemaran nama baik Megawati, 'kritik atas kinerja dipolisikan'

Dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 239 ayat (1).

Di situ disebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).

Sementara itu, pasal 239 Ayat (2) menyebutkan bahwa perbuatan itu tidak merupakan penghinaan jika "jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri".

Partai pendukung pemerintah, PDI-P juga menyatakan bahwa pasal itu penting untuk ada agar "demokrasi tidak kebablasan".

Mengapa polisi mempidanakan penulis Jokowi Undercover? Demo tiga tahun Jokowi-Kalla, 16 mahasiswa dijadikan tersangka

Sebetulnya Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan pasal serupa pada 2006 dan dinyatakan inkonstitusional.

Saat itu, pasal 134, pasal 136, dan pasal 137 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dinyatakan sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini Indonesia yang berbentuk republik dan menganut asas demokratis.

Aturan tersebut awalnya adalah adaptasi dari hukum Belanda, yaitu penghinaan terhadap keluarga kerajaan.

Revisi UU ITE membatasi kebebasan berekspresi? 'Tidak ada perbaikan' kebebasan berekspresi di Indonesia

DPR dan pemerintah sepakat pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bersifat delik umum. Artinya, proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban.

Di media sosial, pembahasan tentang pasal penghinaan presiden masih terus ramai dibicarakan, kebanyakan dari mereka yang menolak.

Meski begitu, ada juga warganet yang menyatakan persetujuannya akan perlunya pasal penghinaan presiden ini dalam RKUHP.

Yang menarik, warganet menyebutkan bahwa, alih-alih pasal penghinaan presiden, yang justru dibutuhkan adalah "pasal penghinaan pada rakyat".

Di Spredfast, istilah 'penghinaan rakyat' digunakan dalam lebih dari 3.000 cuitan, dan meningkat pemakaiannya sejak Selasa (06/02) pagi.

Namun, banyak juga pendapat netizen yang menyatakan khawatir akan seberapa jelas batasan antara penghinaan dan kritik terhadap presiden yang nantinya akan masuk dalam KUHP.

Sementara itu, warganet lain juga mengingatkan kembali akan orang-orang yang pernah terkait kasus-kasus pasal penghinaan presiden saat aturan tersebut masih berlaku.

Sebelumnya, pada Januari 2018 lalu, seorang pria, AJ, ditangkap oleh anggota Polres Probolinggo, Jawa Timur, karena mengunggah gambar wajah Presiden Joko Widodo bertuliskan 'Pangeran Nipunegoro' di akun Facebooknya.

Dia dikenai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman enam tahun.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.