WNI pendukung ISIS di Malaysia terancam 37 tahun penjara
Seorang warga negara Indonesia di Malaysia, yang didakwa sebagai anggota ISIS yang menyebarkan ideologi militan lewat media sosial, terancam 37 tahun penjara, menurut kepala unit anti-teror Kepolisian Malaysia, Ayob Khan.
WNI berusia 23 tahun itu ditahan pada tanggal 17 Januari lalu karena "memiliki barang yang memiliki kaitan dengan ISIS dan menjadi anggota ISIS," kata Ayob.
WNI yang tak disebutkan namanya itu juga dapat dikenakan dakwaan karena "berkeliaran di Kuala Lumpur untuk mencari biksu Buddha untuk dibunuh" sebagai balas dendam atas kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
Tersangka yang bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia ini termasuk dari 29 WNI yang ditahan di Malaysia karena terkait ISIS sejak 2013, yang merupakan jumlah warga asing terbanyak yang diciduk.
WNI pendukung ISIS di Malaysia memburu biku Buddha untuk dibunuh Diduga bergabung dengan ISIS di Suriah, belasan WNI dimintai keterangan WNI yang gabung ISIS: 'Sakit-sakitan, kami ingin kembali ke Indonesia'Secara keseluruhan penahanan pendukung ISIS mencapai 369 orang dengan mayoritas merupakan orang Malaysia dan selebihnya dari Filipina maupun Timur Tengah.
Hak atas foto PDRM Image caption Ayob Khan mengatakan penyebaran ideologi banyak dilakukan melalui media sosial."Dengan kesalahan ini bila didapati bersalah, (menghadapi) hukuman tujuh tahun penjara untuk kesalahan pertama dan kesalahan kedua 30 tahun penjara," kata Ayob kepada wartawan BBC Indonesia, Endang Nurdin.
"Berdasarkan bukti-bukti yang kita peroleh dari handphonenya dan hubungan dengan individu-individu yang masih kita cari yang berada di luar Malaysia," tambah Ayob saat ditanyakan bukti tersangka dituduh sebagai anggota ISIS.
Tidak jelas berapa jumlah orang Indonesia yang bergabung dan menjadi anggota ISIS namun pemerintah menyebut "mungkin jumlahnya ratusan."
Data lembaga kajian di New York, The Soufan Center, yang dikeluarkan pada Oktober tahun lalu menyebutkan terdapat sekitar 600 petempur ISIS asal Indonesia dan 384 diyakini berada di Suriah atau Irak.
Agustus lalu, 18 WNI yang berada di Suriah selama hampir dua tahun dideportasi dan dibawa ke Densus 88 untuk dimintai keterangan.
Hak atas foto OMAR ALLOUCHE Image caption WNI yang berada di Suriah selama 22 bulan dan telah dideportasi ke Indonesia.Bekerja sama dengan Densus 88Dari 29 WNI yang ditahan di Malaysia, kata Ayob, setengahnya diadili di negara itu dan selebihnya dideportasi ke Indonesia.
"Ada berbagai kesalahan, yang pertama mereka mencoba melancarkan serangan di Malaysia, yang kedua mereka terlibat dalam merekrut anggota ISIS yang baru dan yang ketiga mereka... berkolaborasi dengan tersangka ISIS di Malaysia. Ada juga yang ditangkap di Sabah yang mencoba masuk ke Filipina," kata Ayob.
"Kami kolaborasi dengan rapat dengan Indonesia dengan Densus 88 untuk berkongsi dalam intelijen... untuk memastikan Malaysia dan Indonesia selamat dari ancaman ISIS. Hubungan kami memang rapat."
Ayob juga mengatakan di bawah UU Malaysia, mereka yang memiliki buku-buku dan bahan-bahan terkait ideologi ISIS "dapat ditahan dan didakwa," termasuk yang kembali dari Suriah atau Irak.
"Contohnya orang Malaysia yang kembali dari Suriah, ada delapan orang, semua kita tangkap dan didakwa dan dipenjarakan."
"Mayoritas dari mereka menjadi anggota ISIS dan punya ideologi untuk disebarluaskan," kata Ayob mengacu pada 369 orang yang ditahan.
Hak atas foto PDRM Image caption Tersangka WNI anggota ISIS ditangkap pada tanggal 17 Januari lalu.Lewat media sosialJumlah anggota ISIS yang ditahan di Malaysia sedikit berkurang dari sisi jumlahnya, yaitu 119 orang pada 2016 dan menurun menjadi 105 pada 2017. Namun penyebaran ideologi lewat media sosial, termasuk yang sulit untuk dipantau seperti aplikasi percakapan Whatsapp.
"(Dari jumlah per tahun) ada sedikit penurunan. Tapi dari segi penyebaran ideologi masih aktif di media sosial, Twitter, Telegram, Whatsapp. Ini yang saya katakan kita berperang melawan ideologi," kata Ayob.
"Kita sukar untuk membendung pengaruh ISIS... Dulu tiga empat tahun lalu, mereka pakai Facebook yang terbuka, tapi kemudian beralih ke Twitter, Telegram, Whatsapp yang sukar dipantau, tapi masih aktif."
Namun Ayob mengatakan -tanpa merinci lebih lanjut- bahwa pihaknya memiliki cara tersendiri untuk membongkar penyebaran lewat media sosial ini.
Post a Comment