Video viral 'disangka gay' ternyata kakak-adik, pengunggah 'tak perhatikan privasi'
Sebuah video yang memperlihatkan dua pria berboncengan motor dan berpelukan diunggah dan disebarkan oleh seorang pengguna media sosial sampai menjadi viral.
Namun kemudian diketahui kedua pria tersebut adalah kakak adik, dan penyebaran video tersebut, termasuk 'cap' LGBT yang diberikan oleh si pengunggah, kemudian membuat dua pria dalam video itu mendapat konsekuensi sosial.
Video yang diunggah oleh seorang pengguna Facebook bernama Sri Mulyani itu kemudian menjadi berita di beberapa media online, selain juga tersebar lewat beberapa akun media sosial lain.
Dalam video tersebut terdengar pengguna Sri Mulyani menegur dalam bahasa Inggris, "Hei, tuan, jangan lakukan itu. Tolong jangan lakukan itu."
Pengemudi motor terdengar mengatakan, "Dia hanya bercanda," lalu menambahkan, "(Ini) saudara saya."
Natal: 'Hari ini kue pun sudah diradikal,' 'perlakuan 'diskriminatif' terhadap konsumen Foto selfie perempuan Muslim dengan pegiat anti-Islam menjadi viralTerdengar lagi Sri Mulyani mengatakan, "Saya tahu. Hormati orang-orang saya."
Si pengemudi motor mengulangi lagi, "Ini saudara saya."
Sri Mulyani masih membalasnya dengan, "Ya saya tahu, terima kasih."
Dalam keterangan video saat mengunggahnya, Sri Mulyani mengatakan, "Tadinya mtrnya mau ku tendang, tp krna kakiku gak sampe akhrnya hanya ku tegur. Maaf jika tindakanku salah...Kalau aku gak suka ya ku labrak."
Namun Pengguna media sosial @Runnizy kemudian mengabarkan bahwa kedua pria itu adalah kakak-adik yang sudah empat tahun tidak bertemu.
Kini, si adik dilaporkan trauma, sementara ibu mereka sakit. "Tolong laporkan semua video itu. Mari kita bantu dia dan mengendalikan kerusakan," tambahnya.
Dalam unggahannya, pengguna @Runnizy mengutip unggahan dari seorang dosen sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan penulis buku Kajian Budaya Feminis, Aquarini Priyatna.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alldo Felix Januardy mengatakan bahwa kemudahan menggunakan media sosial sering membuat kita "lupa akan wilayah privasi orang lain."
"Sebelum mengirimkan konten apapun ke internet atau sarana informasi yang lain, ya persetujuan orangnya dahulu, apalagi kalau misalnya itu terkait kisah pribadi seseorang. Kalau misalnya di video itu kan, itu urusan hubungan kakak adik, kalaupun ternyata mereka bukan kakak adik, itu tetap urusan pribadi mereka," kata Alldo.
"Kalau misalnya itu informasi tidak ada manfaatnya bagi publik karena lebih banyak keburukan orang lain, ya tentu tidak perlu disebarkan," tambahnya.
Dalam unggahan lanjutannya, Sri Mulyani menyatakan bahwa dia "tidak ada maksud untuk terkenal atau menjelekkan orang lain. Niat saya hanya kalau kita melihat yang tidak layak, tolong tegur, kita wajib untuk itu."
Alldo membenarkan bahwa ada kebebasan seseorang untuk menggunggah atau membuat konten di media sosial, namun kebebasan itu harus dibedakan antara "ekspresi publik dan opini yang sifatnya serangan terhadap pribadi atau masukan terhadap pribadi seseorang".
"Misalnya ibu-ibu itu, atau siapapun dari kita, mengkritiknya kebijakan pemerintah, undang-undang, pembangunan di sekitar rumah yang memang ada manfaat publiknya, itu tentu tidak apa-apa menggunggahnya di platform media sosial, tapi ketika dia mau membicarakan tentang wilayah pribadi seseorang, hubungannya dengan saudaranya, kekasihnya, keluarganya, tentu itu penting meminta persetujuan dari orang itu, apakah setuju informasi itu dikemukakan di muka umum," tambah Alldo.
Lalu apa batasan yang membedakan antara keduanya?
Hak atas foto Mahkamah Konstitusi Image caption Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alldo Felix Januardy mengatakan bahwa kemudahan menggunakan media sosial sering membuat kita "lupa akan wilayah privasi orang lain.""Berdasarkan instrumen hak asasi manusia, ya ada kepentingan publik yang dilanggar atau tidak, apakah mengganggu kesehatan atau keamanan umum, misalnya kalau ada informasi soal penyebaran penyakit, ya berdasarkan standar HAM ya mau tidak mau itu harus disebarkan demi kepentingan umum yang lebih besar, tapi tidak boleh membuka identitas orangnya, dan apakah itu diatur dalam hukum atau tidak," ujar Alldo.
Masalahnya, di Indonesia, menurut Alldo, "aturan soal perlindungan data pribadi juga belum kompleks dan belum mengikuti kebutuhan zaman".
"DPR tengah membahas aturan soal perlindungan data pribadi, namun pembahasannya belum selesai," ujarnya.
Meski begitu, Alldo tidak mendukung jika pengunggah video viral itu kemudian dilaporkan ke polisi atas pencemaran nama baik.
"Kalau di Indonesia sudah overkriminalisasi semua hal-hal yang ada di media sosial, dari penghinaan yang sifatnya subjektif terhadap pemerintah, sering jadi bahan kriminalisasi. Kita tidak setuju dengan kriminalisasi penyebaran informasi, tapi kita setuju dengan jalur keperdataan, misalnya ganti rugi kalau bisa dibuktikan kerugian materiil dan imateriilnya. Kalau misalnya orang yang dirugikan mau menempuh jalur hukum, ya kita sarankan lewat jalur perdata saja," tambahnya.
Namun lagi-lagi, 'sayangnya', persoalan ini belum terwadahi secara sempurna dalam hukum, sehingga satu-satunya yang bisa kita ambil dari sini adalah bertanya pada diri sendiri, apakah unggahan media sosial kita sudah melalui proses verifikasi dan klarifikasi atau akan membahayakan orang lain?
Post a Comment