Kisah enam WNI yang disandera kelompok bersenjata di Libya: 'Kami bertahan hidup dengan menjual ikan teri'

Kisah enam WNI yang disandera kelompok bersenjata di Libya: 'Kami bertahan hidup dengan menjual ikan teri'
benghazi Hak atas foto Kemenlu RI Image caption Disandera sekitar enam bulan oleh kelompok milisi bersenjata di Benghazi, Libya, enam orang WNI akhirnya berhasil dibebaskan setelah melalui perundingan alot yang memakan waktu sekitar tiga bulan.

Disandera sekitar enam bulan oleh kelompok milisi bersenjata di Benghazi, Libya, enam orang WNI akhirnya berhasil dibebaskan setelah melalui perundingan alot yang memakan waktu sekitar tiga bulan.

"Alhamdulillah, pada tanggal 27 Maret 2018 pukul 12.30 waktu setempat, keenam ABK diserahkan kepada tim di pelabuhan Benghazi", kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi.

Setelah dibebaskan, keenam orang WNI itu, Ronny William, Joko Riadi, Haryanto, Waskita Idi Ptaria, Saefudin dan Mohamad Abudi, telah diserahkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia kepada perwakilan keluarganya, Jumat (02/04).

Enam orang ini, yang bekerja di kapal penangkap ikan Salvatur VI yang berbendera Malta, disandera oleh kelompok milisi bersenjata yang berbasis di Benghazi, Libia, sejak 23 September 2017 lalu.

Selain merampas seluruh peralatan kapal, kelompok milisi itu juga mengambil seluruh barang pribadi milik enam orang anak buah kapal (ABK) tersebut, diantaranya telepon genggam dan gaji yang mereka kumpulkan selama ini, demikian keterangan resmi Kemenlu Indonesia.

Hak atas foto Kemenlu Indonesia Image caption Salah-seorang korban penyanderaan, Ronny William, yang asal Jakarta, mengatakan "selama enam bulan penyanderaan, kami bertahan hidup dengan menangkap ikan teri di sekitar kapal."

Lantaran mereka tidak memiliki akses komunikasi, Pemerintah Indonesia baru mengetahui kejadian penyanderaan tersebut pada 28 September 2017 dari pemilik kapal di Malta melalui KBRI Roma, Italia.

'Menangkap ikan teri dan menjualnya'

Salah-seorang korban penyanderaan, Ronny William, yang asal Jakarta, mengatakan "selama enam bulan penyanderaan, kami bertahan hidup dengan menangkap ikan teri di sekitar kapal."

Sebagian hasilnya, lanjutnya, "kami jual melalui salah seorang milisi penjaga yang kebetulan baik kepada kami."

"Uang hasil penjualan dibelikan beras dan bahan makanan", ungkap Ronny William, yang asal Tanjung Priok, Jakarta, menceritakan kisahnya.

Ronny kemudian mengungkapkan dirinya dan lima rekannya menjadi saksi konflik bersenjata di Benghazi.

Hak atas foto Kemenlu Indonesia Image caption Sejak diterima informasi penyanderaan tersebut, pemerintah Indonesia mengaku melakukan berbagai upaya untuk memperoleh akses kepada kelompok penyandera, ungkap Kemenlu Indonesia dalam keterangan tertulisnya.

"Sampai Desember 2017, kami masih melihat dengan jelas pertempuran antara kelompok milisi yang menguasai Benghazi dengan milisi ISIS. Bahkan salah satu bom sempat nyasar dan mendarat di dekat kapal dimana kami disandera", ungkapnya.

"Pelabuhan dan kota Benghazi sudah seperti kota mati, hanya ada reruntuhan perang dimana-mana dan rongsokan kapal ikan dimana-mana", imbuhnya.

Sejak diterima informasi penyanderaan tersebut, pemerintah Indonesia mengaku melakukan berbagai upaya untuk memperoleh akses kepada kelompok penyandera, ungkap Kemenlu Indonesia dalam keterangan tertulisnya.

Hak atas foto Kemenlu Indonesia Image caption Reruntuhan bangunan di salah-satu sudut kota Benghazi, Libya, akibat konflik bersenjata antar kelompok bersenjata.

Namun demikian, baru pada akhir Desember 2017, KBRI Tripoli memperoleh akses komunikasi langsung kepada kelompok bersenjata di Benghazi.

Dari komunikasi itulah, KBRI Tripoli berhasil mendapatkan persetujuan dari kelompok penyandera untuk memberikan akses komunikasi bagi enam WNI.

"Akses komunikasi tersebut memudahkan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan proof of life dan memonitor kondisi para WNI," ungkap Kemenlu.

Kronologi pembebasan

Dalam sambutan pengantarnya, Menlu Retno menyampaikan proses pembebasan bukan perkara mudah. Selain karena situasi keamanan di Benghazi, Libya, yang masih sangat rawan, situasi politiknya juga sangat kompleks, katanya.

Benghazi saat ini dikuasai oleh kelompok bersenjata anti pemerintah pusat Libya di ibu kotanya, Tripoli. Sebagian besar negara anggota PBB, termasuk Indonesia, hanya mengakui pemerintahan di Tripoli.

Hak atas foto Kemenlu Indonesia Image caption "Sampai Desember 2017, kami masih melihat dengan jelas pertempuran antara kelompok milisi yang menguasai Benghazi dengan milisi ISIS. Bahkan salah satu bom sempat nyasar dan mendarat di dekat kapal dimana kami disandera", ungkap salah-seorang korban sandera.

"Ini bukti bahwa meskipun penuh resiko dan memakan waktu relatif lama, namun pemerintah akan selalu melakukan upaya terbaik untuk melindungi WNI dimanapun mereka berada", tegas Menlu Retno kepada keluarga enam WNI yang berhasil dibebaskan.

Menlu Retno mengungkapkan, setelah melalui perencanaan matang, dengan didahului komunikasi intensif dengan pihak-pihak di Benghazi, pada 23 Maret tim gabungan KBRI Tripoli, Kemlu dan Badan Intelijen Negara (BIN) menuju Benghazi dengan jalur udara melalui Tunisia.

Setelah beberapa kali tertunda, akhirnya tim mencapai kesepakatan dengan pihak-pihak di Benghazi tentang mekanisme dan lokasi penyerahan sandera, yaitu di pelabuhan Benghazi, 27 Maret 2018, pukul 12.30 waktu setempat.

"Saya mengapresiasi rekan-rekan kami di KBRI Tripoli yang sudah bekerja keras dan mengambil resiko untuk pembebasan ini," kata Menlu Retno. Dia juga mengapresiasi semua anggota tim yang langsung terlibat dalam pembebasan sandera.

Saat ini, Kementerian luar negeri Indonesia masih terus berkoordinasi dengan pemilik kapal di Malta guna memastikan pemenuhan hak-hak enam ABK yang belum dipenuhi oleh pemilik kapal.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.