Sederet alasan pekerja asing lebih menyukai Amerika Serikat daripada Inggris

Sederet alasan pekerja asing lebih menyukai Amerika Serikat daripada Inggris
Inggris Hak atas foto Getty Images Image caption Pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa membuat masyarakat di benua itu berpikir ulang untuk bekerja dan menetap di negara tersebut.

Kemunculan sosok Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat serta keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa alias Brexit telah memunculkan beragam kontroversi di masing-masing negara itu.

Tenggat terakhir Inggris mengucapkan selamat tinggal kepada Uni Eropa masih menjadi perdebatan antarpartai politik meski sebagian besar masyarakat negara itu tak lagi peduli.

Ketika para politikus negara itu terus bersilang pendapat, banyak pekerja muda berbakat telah mengambil keputusan terkait Brexit.

Berdasarkan jajak pendapat yang melibatkan 10 ribu pekerja, Inggris Raya keluar dari enam peringkat teratas negara tujuan kerja masyarakat Eropa.

Kantor akuntan publik Binder Dijker Otte (BDO) merilis daftar itu Januari 2018. Mereka menyebut Brexit berdampak buruk pada masa depan perekonomian Inggris.

Berpaling dari Inggris

Pada 2012, Inggris berada di peringkat kedua, setara dengan Kanada, Australia, Jerman, Swiss, dan Spanyol.

Bandingkan hasil survei itu dengan AS yang tetap berada di peringkat atas meski kunjungan warga asing ke negara itu terus berkurang akibat 'kemerosotan Trump'.

Istilah tersebut dimunculkan sejumlah pihak yang menyebut penurunan itu disebabkan kebijakan Trump, antara lain pengetatan keimigrasian dan pemberian visa untuk beberapa negara.

Hampir satu pertiga responden asal Eropa menyebut AS sebagai satu dari tiga negara tujuan kerja. Namun persentase AS sebenarnya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jatuh sekitar 5% dari capaian tahun 2012.

Hak atas foto Getty Images Image caption Nilai poundsterling yang menurun dan arus investasi yang melambat dinilai membuat Inggris tak lagi populer di kalangan ekspatriat.

Secara global, AS masih menjadi tujuan utama, walaupun jumlah responden yang memilih mereka turun dari 34% menjadi 30%.

"Apapun yang mungkin seseorang pikirkan tentang situasi politik AS, negara itu tetap di peringkat utama karena pertumbuhan ekonomi mereka," ujar Andrew Balley, petinggi bagian personalia BDO di London.

"AS masih dianggap sebagai negara sejuta peluang," tuturnya.

"Banu Senyurt, mahasiswa asal Jerman yang meraih gejar magister bisnis administrasi di New York, sependapat dengan kajian BDO.

"Terdapat lebih banyak lowongan pekerjaan di AS dibandingkan Jerman. Anda dapat meraih cita-cita lebih cepat di AS."

"Di Jerman, kesempatan Anda untuk meraih promosi di suatu perusahaan butuh lebih dari sekedar kepiawaian," kata Senyurt.

"Saya melihat banyak protes dan demonstrasi di AS. Namun sejauh ini saya tak terdampak kebijakan Trump."

"Saya berencana menetap di sini, tapi saya tidak tahu apakah situasi ini akan membuat keseharian dan lingkungan pekerjaan menjadi lebih berat bagi orang asing," ujarnya.

Mengubah prioritas

Hasil kajian ini bisa dibilang membuktikan sebagian tren global bahwa dibandingkan lima tahun lalu, semakin sedikit pekerja muda di Eropa bersedia ditempatkan di luar negeri.

"Pekerja pada usia akhir 20-an dan 30-an kini lebih sering menolak mutasi antarnegara," kata Klaus Hansen, manajer pelaksana perusahaan penyedia jasa rekrutmen, Odgers Berndtson.

"Mereka telah menentukan prioritas, seperti membeli properti atau membentuk keluarga," tuturnya.

Hansen berkata, para klien mudanya kerap berkata, "saya bersedia dimutasi selama tujuannya berada di selatan Munich."

Hak atas foto Getty Images Image caption Popularitas Inggris sebagai negara tujuan kerja menurun pasca-Brexit.

Bailey mengatakan, warga Eropa tidak semata mempertimbangkan upah saat memutuskan negara tujuan kerja.

Sebaliknya, mereka terpengaruh faktor lain, seperti pertumbuhan ekonomi, ketersediaan dan kualitas pemukiman, sarana penitipan anak dan pendidikan, tarif pajak dan jaminan kesehatan.

Dari sudut pandang ekonomi, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Inggris dalam beberapa tahun mendatang akan menghadapi sejumlah tantangan pasca-Brexit.

Hasil referendum Brexit setidaknya telah melonjakkan permintaan produk dari dalam negeri. Poundsterling yang melemah mendorong daya beli masyarakat sekaligus menekan keseimbangan kemampuan berbelanja.

Di sisi lain, investasi bisnis melambat jika dibandingkan perekonomian global yang tengah bergairah. Seluruh ekses tersebut dapat menjadi sisi negatif bagi negara yang berusaha menarik pekerja asing.

Penurunan peringkat

Tahun 2017, jejaring ekspatriat InterNations menerbitkan hasil jajak pendapat keempat Expat Insider berisi peringkat 65 negara yang diperbandingkan berdasarkan faktor kualitas hidup penduduk serta kemudahan pekerja asing menetap dan meraih pekerjaan.

Peluang karier yang besar menempatkan sejumlah negara di peringkat teratas, sementara situasi politik yang kacau dan biaya hidup yang tinggi memaksa beberapa negara berada di daftar terbawah.

Hak atas foto Getty Images Image caption Meski AS dipimpin presiden kontroversial, negara itu dinilai tetap menjanjikan karier dan kesejahteraan bagi pekerja asing.

Setelah referendum Brexit, para ekspatriat menilai iklim perekonomian Inggris menuju sisi negatif. Ini adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keputusan mereka untuk bekerja dan menetap di negara lain.

"Muncul berbagai kekacauan ini usai referendum Brexit, termasuk kegelisahan tentang masa depan pasar lapangan kerja," kata seorang responden jajak pendapat asal Swiss.

Badan Urusan Statistik Inggris (ONS) pun menjadikan kecenderungan ini sebagai pertimbangan dalam survei mereka.

Dalam data ONS terakhir tercatat angka migrasi menurun dari Juni 2016 ke Juni 2017. Tiga perempat penyebab penurunan itu disebabkan oleh warga Uni Eropa.

Meski jumlah warga asing yang datang ke Inggris karena telah mendapatkan pekerjaan tetap stabil, tapi orang asing yang masuk untuk mencari pekerjaan semakin sedikit.

ONS menyatakan, meski kebijakan keimigrasian merupakan perihal rumit, Brexit merupakan faktor utama yang mempengaruhi orang asing datang dan meninggalkan Inggris.

Hak atas foto Getty Images Image caption Peluang kerja yang melimpah dan stabilitas ekonomi disebut membuat AS menjadi tujuan kerja yang paling masuk akal bagi ekspatriat.

Faktanya, Badan Ketenagakerjaan Jerman menyebut Inggris masih menjadi negara tujuan favorit bagi anak muda yang tengah mencari pekerjaan di luar negeri.

Inggris menjadi tujuan utama, terutama bagi mereka yang ingin mengembangkan kemampuan bahasa Inggris.

"Namun kami mencatat, terdapat keraguan di antara para pencari kerja itu, apakah mereka dapat tetap menetap di Inggris pasca-Brexit," ujar Marcel Schmutzler, juru bicara badan penempatan tenaga kerja Jerman di luar negeri.

"Amerika Serikat menarik perhatian karena cakupan dan kekuatan ekonomi mereka. Banyak sisi kehidupan negara itu dikenal melalui televisi dan film."

"Sebagian besar perusahaan teknologi informasi dan sejumlah merk yang dikenal banyak rumah tangga dan yang sangat berpengaruh pada kehidupan kami berasal dari AS."

"AS memiliki daya tarik tersendiri sebagai lokasi tujuan pencarian dan pengembangan karier," kata Schmutzler.

Barangkali, pada akhirnya, arus pekerja muda akan bergantung pada faktor yang sulit didefinisikan, seperti penerimaan dan penyambutan warga lokal kepada mereka.

"Orang-orang ingin pergi ke suatu tempat yang menerima mereka dengan tangan terbuka," kata Bailey dari BDO.

"Beragam pernyataan politikus tidak berdampak. Jika inggris tetap membuka diri pada dunia luar, negara itu akan tetap menjadi magnet. Tapi suatu negara yang menutup pintu mereka tentu akan ditinggalkan."

Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris di BBC Capitaldengan judulWhy the US is drawing in Europe's expats post?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.