Mungkinkah hubungan keamanan Indonesia-AS saling menguntungkan?
Kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Jim Mattis, ke Indonesia selama dua hari diperkirakan akan semakin menegaskan bentuk hubungan pertahanan kedua negara di bawah Presiden Donald Trump.
Dan pemerintah Presiden Joko Widodo dipandang memiliki posisi tawar yang kuat dalam aspek pertahanan di kawasan, kata Suzie Sudarman, Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia.
"Kita tetap bebas aktif, hanya masalahnya bagaimana membuat pilihan-pilihan itu tetap setara dengan bebas aktif, yaitu tidak menyatakan anti Cina, tetapi menyatakan Indo-Pasifik. Jadi dia menyenangkan dua pihak. Tidak anti Cina, Cina yang senang. Mengatakan ini kawasan Indo-Pasifik, Amerika senang. Kan win-win artinya," kata Suzie.
Hari Senin (22/01) Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengatakan Indonesia akan membicarakan konsep arsitektur regional Indo-Pasifik kepada rombongan dari Paman Sam yang kini dipimpin Presiden Donald Trump.
Namun agaknya kebijakan presiden ke-45 dari Partai Republik ini sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan dengan pemerintahan Barack Obama Obama sebelumnya yang berasal dari Demokrat, seperti diamati anggota Komisi I DPR RI, Effendi MS Simbolon.
"Republican dan Demokrat yah memang dalam policy di luar negeri di Amerika sebenarnya tidak terlalu beda ya. Sama-sama mereka orientasi pada profit. Bahwa mereka gunakan juga content HAM itu juga menjadi konsideran mereka, iya. Republik juga bukan berarti mereka longgar terhadap masalah HAM," kata Effendi.
Hak atas foto Mabes TNI Image caption Kesinkronan pasokan alutsista TNI dipandang penting untuk dibicarakan.Alutsista tidak sinkronSalah satu hal yang perlu dikedepankan Indonesia kunjungan pertama menteri Mattis ini, menurut Effendi Simbolon, adalah perlunya kesinkronan dalam alat utama sistem pertahanan (alutsista), menurut Effendi Simbolon.
"Indonesia tidak hanya berkiblat hanya kepada Amerika. Indonesia juga coba berkiblat juga ke Rusia dan Cina. Ini yang juga saya lihat dari sisi kemampuan pertahanan kita, menjadi tidak satu sistem."
"Dalam rangka peremajaan, modernisasi, kalau berdasarkan dari Renstra kita, dari Renstra Kemhan kita dan Mabes TNI memang saya rasa tidak terdukung dengan baik proses pengadaan alutsistanya," kata Effendi.
Saat ini sumber persenjataan Indonesia berasal dari berbagai negara seperti sistem meriam dari Cina, sistem udara dari Rusia, dan helikopter dari Amerika Serikat, misalnya.
Menhan Mattis dijadwalkan akan bertemu Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, selain Presiden Jokowi untuk membicarakan kerja sama maritim dan pertahanan.
Hak atas foto AFP Image caption Selama Desember 2017, setidaknya Densus 88 menangkap 20 terduga teroris di berbagai daerah.Terorisme & Densus 88Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir, sebelumnya mengatakan bahwa pertemuan pejabat kedua negara memang akan membicarakan modernisasi sistem pertahanan, cara mengatasi terorisme selain memperkuat kerja sama Indo-Pasifik.
Selama ini, salah satu hal yang dipandang menguntungkan Indonesia adalah bantuan dari AS dalam mengatasi terorisme dan radikalisme, kata Suzie Sudarman.
"Harus kita akui tanpa dorongan dari Amerika Serikat nggak mungkin teroris-teroris itu di Indonesia tertangkap. Itu kan Detasemen 88 bantuan Amerika dan Australia karena orang Indonesia biasanya agak gegabah, agak longgar, agak terlalu santun, sehingga orang yang seharusnya dibui, tidak dibui."
"Jadi kalau ada orang-orang, negara besar yang mendanai dan mengawasi secara jelas, Indonesia tiba-tiba harus menjadi hard nose (tegas)," Suzie menegaskan.
Hak atas foto Reuters Image caption Pemerintahan Trump memandang Cina dan Rusia sebagai pesaing strategis.Cina dan Rusia lebih penting?Salah satu agenda utama kunjungan Menhan AS adalah menegaskan strategi keamanan nasional Presiden Trump yang mendefinisikan Rusia dan Cina sebagai pesaing strategis.
Apakah artinya di mata pemerintahan Amerika sekarang masalah-masalah lain di kawasan menjadi tidak sepenting dibanding kedua negara tersebut?
"Isu-isu tradisional masih penting karena masalahtradisional seperti terorisme digarisbawahi dengan kemungkinan orang-orang ISIS kembali ke negeri-negerinya. Jadi akhirnya mereka kembali ke Indonesia atau kembali ke negara-negara Asia Tenggara dan bisa menimbulkan permasalahan baru seperti yang terjadi di Filipina kemarin," kata Suzie Sudarman dari UI.
Sementara Effendi Simbolon mengatakan sikap pemerintah Trump terhadap Rusia dan Cina tidak bisa dibandingkan dengan kebijakan negara itu dalam menyikapi terorisme dan radikalisme.
"Kita tidak bisa bandingkan antara persoalan bagaimana khususnya Tiongkok, baru kemudian Rusia untuk -dengan tanda petik- lebih berperan dalam politik luar negerinya di Indonesia dibandingkan dengan masalah terorisme dan radikalisme ini. Tidak bisa apple to apple kan, karena dua hal yang berbeda. Pasti mereka juga concern," Effendi menjelaskan.
Post a Comment