Sekitar 100 polisi syariah Aceh diberhentikan, apa dampaknya?

Sekitar 100 polisi syariah Aceh diberhentikan, apa dampaknya?
Polisi syariah Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Personel Polri dan polisi syariah di Banda Aceh menangkap pemuda yang berpakaian khas punk. Busana seperti itu dianggap melanggar qanun.

Setidaknya 114 polisi syariah di Dinas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Provinsi Aceh diberhentikan sementara sejak akhir Desember 2017.

Mereka adalah sebagian dari total 900 tenaga kontrak yang tidak diperpanjang karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2018 tak kunjung disahkan hingga awal Maret ini.

Pemprov Aceh menyatakan pemberhentian ratusan polisi syariah tidak melemahkan penindakan terhadap pelanggaran qanun jinayat atau hukum pidana berbasis syariat Islam.

Kepala Satpol PP dan WH Aceh, Dedy Yuswandi, menyebut pihaknya mengerahkan 70 polisi syariah berstatus pegawai negeri sipil untuk mengawasi pelaksanaan qanun.

"Aktivitas kami tidak terganggu secara signifikan. Kami berdayakan PNS yang ada, semua kegiatan, termasuk razia dan penjagaan masjid raya, dilakukan PNS," kata Dedy kepada BBC Indonesia, Rabu (07/03).

Dedy mengatakan, jika Kementerian Dalam Negeri mengesahkan anggaran Pemprov Aceh, lembaganya akan kembali menawarkan kontrak baru pada ratusan polisi syariah yang kini menganggur.

Pemberhentian polisi syariah tidak terjadi di setiap kabupaten atau kota di Aceh.

Menurut Dedy, wilayah tingkat dua mempekerjakan kurang lebih 200 polisi syariah, baik pegawai kontrak maupun PNS, sehingga jika angka dikalikan dengan 23 kabupaten dan kota di seluruh Aceh, maka polisi syariah di provinsi setidaknya berjumlah 4.600 orang.

Meski kerap represif terhadap minoritas seperti kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender bahkan anak punk, pemerintah Aceh diminta mempertahankan jumlah polisi syariah.

Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Seorang perempuan dihukum cambuk di Masjid Syuhada, Banda Aceh, Mei 2017, karena tertangkap tangan tengah bersama seorang pria yang bukan suaminya.

Otto Syamsuddin, pengajar ilmu politik dan sosial di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menyebut minimnya polisi syariah berpotensi memunculkan anarkisme massa.

"Kalau penindakan diambil alih oleh massa yang tidak terorganisir, situasi justru dapat menjadi lebih anarki. Dampak sosialnya pun lebih luas."

"Aturannya sudah ada, tapi pelaksananya hilang. Qanun pun tidak dapat berjalan," kata Otto melalui sambungan telepon dari Jakarta.

Tak hanya mempertahankan jumlah personel, Otto juga mendorong seleksi dan pembinaan yang ketat terhadap para polisi syariah.

Menurutnya, polisi syariah perlu diberikan pemahaman tentang hak asasi manusia.

"Dalam konteks represif, itu lebih pada penguatan tupoksi. Lihat tupoksi mereka, kritik lalu berikan pelatihan, bukan dengan pengurangan personel," ujar Otto.

Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Sepasang laki-laki dan peremuan di Banda Aceh ditangkap personel wilayatul hisbah karena berhubungan di ruang privat tanpa ikatan perkawinan.

Polisi syariah dibentuk dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

UU 18/2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam memberi kewenangan pada pronvinsi itu membentuk peradilan syariat Islam yang berbasis qanun.

Sementara itu undang-undang lainnya, UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, menyebut setiap kepala daerah di berbagai tingkat pemerintahan dapat membentuk unit wilayatul hisbah dalam Dinas Satpol PP.

Selain mengawasi dan menindak pelanggaran qanun yang berujung hukuman cambuk, penjara atau denda, polisi syariah di Aceh juga melaksanakan peraturan daerah.

Kepala daerah di Aceh kerap menerjunkan polisi syariah untuk menangkap warga yang melanggar larangan perayaan tahun baru, hari kasih sayang atau Valentine Day, hingga hubungan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan.

Akhir Januari 2018, polisi syariah menangkap belasan waria di Aceh Utara dalam 'operasi penyakit masyarakat'.

Beberapa pekan sebelumnya, mereka menahan dan menggunduli sekelompok anak punk dalam operasi yang mereka sebut 'pembinaan'.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.